Thursday, March 30, 2017

Gue Baru Sadar Kalau Tergantung Sama Pendapat Orang Lain Itu Membosankan


Sikap dan perkataan manusia itu bisa tiba-tiba berubah. Gue menyadari ini ketika teman gue yang menghargai pilihan gue untuk single sampai gue menemukan value gue, mendadak berbelok menasehati gue untuk segera cari pasangan hidup. Menurutnya sebanyak-banyak-nya gue bergaul, akan ada saatnya gue tetap merasa kesepian karena teman bergaul gue pasti akan sibuk dengan pasangan atau keluarga barunya. 


Ada juga beberapa teman gue yang tadinya mendukung gue untuk mencintai bentuk tubuh gue apa adanya, sekarang gara-gara olahraga jenis tertentu sedang populer, mereka jadi menyuruh gue untuk membentuk tubuh impian versi “kebanyakan orang”. Di sinilah pergulatan hati melanda. 

Sekedar informasi, dari kecil gue terbiasa menentukan pilihan dan melakukan segalanya sendirian. Milih mau SD di mana, ke kamar kecil, pulang jalan kaki sampai belajar naik sepeda. Dan ini terus berlaku sampai gue remaja. Dulu gue adalah tipe orang yang bisa lo lihat lagi nonton di bioskop sendirian dengan sangat nyaman tanpa peduli ada kemungkinan gue ketemu mantan dan pacar barunya atau kelihatan kurang gaul. Gue juga adalah tipe yang bisa dengan lantang bilang “i won’t go to that party” di tengah orang-orang yang sedang semangat untuk berangkat.

Tapi semakin gue dewasa, keadaan berubah. Pekerjaan gue dalam industri kreatif di era millenials yang didominasi oleh penggunaan social media seperti sekarang telah membuat gue menjadi bagian dari generasi yang addicted to likes. Sederhananya, barang siapa yang menjadi bagian dari tren berarti akan disukai banyak orang dan disukai banyak orang berarti eksistensi kita atau karya kita diakui.

Ini membuat gue keterusan. Setiap hari makanan gue adalah pendapat orang lain. Apa yang disepakati oleh mayoritas menjadi patokan gue untuk berkarya, menghargai pencapaian bahkan dalam menentukan jalan hidup. Quotes dari instagram, lagu-lagu top 40, film-film box office dan buku mega best seller seolah jadi pedoman paling bijak untuk membuat hidup jadi lebih bermakna. 

Mendadak gue nggak bisa membedakan mana yang baik untuk gue atau enggak. Informasi yang mengalir deras dalam hitungan detik di browser handphone juga membuat gue melahapnya begitu saja tanpa mengkritisi lebih lanjut. Pada akhirnya gue benar-benar merasa nyaman ketika apa yang gue konsumsi juga dikonsumsi orang lain. 

Hingga kemudian semesta menegur gue. Nasehat-nasehat baru dari teman-teman gue itu datang dan membuat gue bertanya “Mau sampai kapan gue tergantung sama pendapat orang?. Gimana kalau pendapat mereka bukan jaminan? Bukankah sebenarnya gue punya akal dan hak untuk memilih jalan hidup yang gue yakini?"

Here’s the good news: Bukan tugas kita untuk selalu memenuhi standart yang dibuat orang lain. Lagipula standart mereka juga pasti akan berubah lagi. 

Mungkin pada dasarnya kita semua mudah tersesat dalam menentukan arah hidup kita. Karena itu sebagai mahluk sosial kita cenderung mencari orang yang bernasib sama untuk menemani kita agar bisa saling menguatkan. Jeleknya, kita jadi mudah menghakimi pilihan hidup orang lain hanya gara-gara mereka berbeda. Pergerakan tren yang begitu cepat menghasilkan pola pikir yang instan dan membuat kita jadi kurang sabar dalam menguji sebuah keyakinan. 

Padahal bisa jadi orang yang menasehati gue juga sama takutnya dengan gue. Takut bahwa jalan yang dipilih saat ini punya kemungkinan besar untuk salah. Lalu jika posisi gue dan mereka sama, kenapa juga gue harus pusing mendengarkan pendapat mereka. Yes, selalu ada kemungkinan gue gagal, tapi begitu juga dengan mereka. Lagipula bayangkan jika semua orang di dunia ini mengikuti jalan hidup yang sama. Ketika kita buntu, nggak akan ada orang lain yang bisa melaporkan bahwa ada jalan yang lebih baik untuk dilalui. Jalan yang mungkin penuh resiko tetapi tidak buntu. Jalan yang tidak membosankan. 

No comments:

Post a Comment